- Peran PDUI untuk Bangsa: Keterlibatan PDUI dalam Mengawal Revisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
PDUI | Perhimpunan Dokter Umum Indonesia
Jakarta, PDUI - Kebijakan-Kebijakan dalam Dunia Kesehatan mengalami perubahan dalam beberapa kurun waktu. Hal ini dilakukan berdasarkan pada kebutuhan dan kondisi baik dari sisi tenaga kesehatannya, Pembiayaannya maupun dari sisi penyakit yang berkembang di Indonesia.
Sudah menjadi hak setiap orang untuk mendapatkan hidup sehat, perlindungan kesehatan dan fasilitas kesehatan baik tingkat primer maupun sekunder. Tidak terkecuali dengan tenaga kesehatan itu sendiri. Seperti yang tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Pekerja merupakan kelompok berisiko tinggi terhadap berbagai masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses kerja, lingkungan kerja, dan perilaku pekerja sehingga berpotensi mengalami penyakit akibat kerja”. Oleh karena itu, dibutuhkan kepastian hukum dalam melaksanakan pelayanan penyakit akibat kerja di Fasilitas pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini, Pemerintah khususnya Menteri Kesehatan Republik Indonesia sudah membuat kebijakan yang mengatur tentang Standar Pelayanan Penyakit Akibat Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yaitu Peraturan Menteri kesehatan Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Akan tetapi, karena beberapa hal maka kebijakan tersebut dinilai sudah tidak relevan bila diimplementasikan saat ini, akhirnya pada Tahun 2018 dan masih berjalan sampai saat ini, Peraturan tersebut akan direvisi. Pelaksanaan tersebut melibatkan beberapa Lembaga dan Instansi yang keterkaitan, salah satunya adalah Perhimpunan Dokter Umum Indonesia sebagai satu-satunya Organisasi Profesi yang mengampu Dokter Umum yang memiliki peran sebagai gate keeper dipelayanan kesehatan tingkat primer.
Dr. Hartati B. Bangsa sebagai perwakilan dari PP PDUI, menjelaskan bahwa ada beberapa poin penting yang PDUI usulkan dalam revisi peraturan tersebut, yaitu:
1. Era UHC mewajibkan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan tatalaksana tidak hanya di Klinik perusahaan, akan tetapi di semua Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama tanpa terkecuali.
PDUI menyepakati mengingat merujuk pada SKDI 2012 dalam diagnosis dan tatalaksana penyakit akibat kerja, Dokter Umum memiliki kompetensi di Level 4a artinya mampu dan wajib melakukan. Untuk memudahkan pelaksanaan tersebut, maka di sepakati konsensus bersama yakni " Diagnosis dan tatalaksana Penyakit Akibat Kerja " dengan 7 langkah. PDUI bersepakat dan ikut menandatanganinya sebab langkah ini akan memudahkan dokter umum dalam menjalankan kewenangannya dalam mendiagnosis/mengscreaning PAK di Fasilitas kesehatan tingkat primer. Konsensus ini disepakati bersama dengan Organisasi Profesi lainnya di bawah rumah besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yaitu 11 Perhimpunan Spesialis, PDUI dan 1 Perhimpunan Keseminatan.
2. Mengusulkan bahwa sampai pada penegakan diagnosis Penyakit Akibat kerja dialih biayakan kepada BPJS ketenagakerjaan, karena selama ini dalam pelaksanaannya masuk ke dalam kapitasi BPJS Kesehatan. Padahal penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja membutuhkan banyak penunjang diagnosis. Hal ini juga yang mungkin menjadi penyebab PAK menjadi zero cases karena rumitnya pelaksanaan administratif.
3. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan tatalaksana di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama diusulkan untuk menjadi Non Kapitasi/ fee for service.
4. Persoalan Aturan Penyelenggaraan Fasilitas Layanan Kesehatan Kerja, PDUI mengusulkan di perusahaan dengan low to midle risk perizinan fasilitas fesehatannya di perbolehkan untuk DPM (Dokter Praktik Mandiri). selama ini yang terjadi adalah perizinannya diwajibkan klinik pratama, karena mengikuti regulasi umum yang ada di Kemenkes tentang Fasilitas Layanan Kesehatan. Akibatnya yang terjadi adalah perusahaan yang tidak sanggup mendirikan sebuah klinik perusahaan, menggunakan Dokter umum tetapi ber SIP di tempat kerja lain, bukan di perusahaan itu sendiri. Hal ini, Secara legal melanggar aturan disiplin praktik.
5. Jaminan kesehatan dan perlindungan kerja bagi Dokter umum belum tersedia secara menyeluruh, terutama di perusahaan atau industri kesehatan milik pemerintah/ perusahaan lokal Indonesia.
6. PDUI mendukung adanya upaya preventif dan promotif kesehatan kerja berbasis wilayah dengan melibatkan PDUI di tingkat cabang.
Poin-poin tersebut di atas ditekankan untuk diusulkan pada revisi Peraturan Menteri kesehatan Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan revisi Petunjuk Teknis Pelaksanan Pelayanan Kesehatan Kerja Turunan dari PERMENAKER Nomor 03/MEN/1982 Tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada Tahun 2019, Pemerintah menerbitkan kebijakan dalam sebuah peraturan yaitu Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja, yang di dalamnya memuat sinkronisasi peran serta antara Kemenkes dan Kemenaker, dimana Kemenkes membuat Standar sementara Kemenaker melaksankan upaya intervensi kesehatan kerja.
Berdasarkan hal tersebut, PDUI sangat berharap dilibatkan dalam Penetapan Standar dan atau Petunjuk Teknis baik di Kemenkes atau di Kemenaker untuk beberapa usulan diatas. Selama ini, Kemenkes masih tetap melibatkan PDUI sebagai satu–satunya Organisasi Profesi Dokter Umum, sementara dari Kemenaker hanya melibatkan dari IDKI. PDUI juga berharap dengan adanya PP No. 88 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Kerja ini memberikan kesempatan bagi PDUI untuk dapat mengadvokasi beberapa hal di atas sesuai dengan yang diusulkan.
PERATURAN_MENTERI_KESEHATAN_NOMOR_56_TAHUN_2016